Bab 287
Bab 287 Berubah Sikap Seratus Delapan Puluh Derajat
Setelah mengetahui identitas Ardika, Melia sama sekali tidak berani membantah
ucapan pria itu.
“Aku akan pergi mengepel sekarang juga!”
Selesai berbicara, dia langsung berlari–lari kecil menuju ke dalam vila. Dalam
sekejap, dia langsung mulai bekerja dengan giat.
Ardika tidak memedulikan Melia lagi. Lagi pula, biarpun diberi seratus nyali, wanita itu tidak akan berani melarikan diri.
“Rahasiakan identitasku,” kata Ardika dengan santai.
Arini dan Mose tahu ucapan itu ditujukan kepada mereka berdua, mereka segera
menganggukkan kepala mereka.
Mereka memutuskan untuk menyimpan hal ini jauh dalam lubuk hati mereka dan
tidak akan memberi tahu siapa pun.
Sebenarnya, kalaupun mereka memberi tahu orang lain, orang yang mendengar
ucapan mereka pasti akan menganggap otak mereka sudah bermasalah.
Tidak ada seorang pun yang memercayai bahwa sosok Dewa Perang bersedia
menjadi menantu keluarga kaya kelas dua seperti Keluarga Basagita dan rela
menjadi bahan ejekan banyak orang.
Kalau bukan menyaksikan hal itu dengan mata kepala mereka sendiri, mereka juga. tidak akan memercayainya.
Kemudian, Ardika menyerahkan tugas mengurus keperluan sehari–hari vila nomor
sembilan kepada Arini.
Arini merasa sangat senang.
Dia tahu kali ini tindakannya sudah benar. Paling tidak, Ardika sudah mulai
menerima kompensasi yang diberikannya pada keluarga Delvin.
Tanpa mengulur–ulur waktu lagi, dia segera melaksanakan instruksi Ardika.
Mose juga pamit undur diri dan meninggalkan vila tersebut.
Saat ini, hanya ada Ardika, keluarga Delvin, beserta Jesika di vila nomor sembilan.
Khawatir ayah dan ibu angkatnya masih belum terbiasa tinggal kembali ke vila ini, Ardika memutuskan untuk tetap tinggal dan menemani mereka makan malam.
Selvi sendiri yang memasak makan malam, Melia bertugas untuk membantunya.
Walaupun dia adalah seorang nona besar yang belum pernah masuk ke dapur, Melia tetap memaksakan diri untuk membantu Selvi di dapur.
Dia merasa Ardika tidak langsung menembak mati dirinya di tempat saja, sudah patut disyukuri.
Selesai makan malam, akhirnya dua lansia itu sudah tenang. Mereka sudah menerima kenyataan bahwa vila lama mereka sudah dibeli kembali oleh Ardika.
Setelah meninggalkan vila nomor sembilan, Ardika menghubungi Alvaro.
Begitu panggilan telepon terhubung, dia langsung menanyakan apakah Ganang sudah mengungkapkan sesuatu atau tidak.
Alvaro berkata dengan santai, “Hanya dalam waktu sepanjang sore, dengan caraku,
aku sudah bisa membuka mulutnya ratusan kali. Hal yang Ganang ketahui sudah dia
katakan semuanya
“Apa yang Ganang katakan?”
Tidak ingin berbasa–basi dengannya lagi, Ardika langsung menyelanya.
“Ardika, kenapa aku harus memberitahumu? Apa kamu benar–benar berpikir kamu
sudah sangat hebat?”
Berbeda dengan sikapnya saat berada di rumah sakit pagi hari tadi, saat ini sikap Original from NôvelDrama.Org.
Alvaro sudah berubah seratus delapan puluh derajat. Dia berkata dengan nada
meremehkan, “Aku sudah melepaskan Ganang. Kalau kamu ingin tahu, tanyakan
saja padanya!”
Ardika mengerutkan keningnya.
‘Ada apa lagi ini?‘
Ardika mendengus dengan dan berkata dengan suara dalam, “Alvaro, aku bisa menghancurkan tempat perjudianmu sekali, aku juga bisa menghancurkannya
untuk kedua kalinya!”
“Sini, sini! Kalau kamu nggak datang, kamu adalah anjingku!”
Alvaro sama sekali tidak takut, dia bahkan sengaja memprovokasi Ardika.
“Ardika, apa kamu benar–benar berpikir aku takut padamu? Kalau bukan karena
tahu kamu berhubungan dengan Tuan Muda Liander, bagaimana mungkin aku
begitu sopan padamu?” ujar Alvaro.
“Hahaha, siapa sangka alih–alih menjalin hubungan baik dengan Tuan Mudal Liander, kamu malah menyinggungnya! Ardika, kamu memang bodoh, kamu benar-
benar bodoh!”
“Ardika, kalau kali ini kamu berani datang dan merusak tempat perjudianku lagi,
aku pasti akan membunuhmu!”
Selesai berbicara, Alvaro langsung memutuskan sambungan telepon.
Kemarin, Ardika tidak hanya menghancurkan tempat perjudiannya, tetapi juga
menampar wajahnya di hadapan banyak orang.
Tentu saja dia harus balas dendam.
Namun, dia tidak berencana langsung membunuh Ardika, melainkan mempermalukan Ardika dan memaksa Ardika hingga menemui jalan buntu.
Setelah berpikir demikian, Alvaro langsung menelepon Tarno. “Kak Tarno, apa kamu tahu Ardika si idiot itu sudah menyinggung Tuan Muda Liander? Bukankah pagi hari ini dia baru mengambil mobil bernilai dua puluh miliar dari tempatmu? Kamu nggak memintanya untuk mengembalikan mobil?”
Di ujung telepon, Tarno tidak terdengar terkejut sama sekali.
“Tuan Muda Alvaro, apa hal seperti ini perlu kamu katakan lagi? Aku sudah mengirim orang untuk memberi tahu anggota Keluarga Basagita. Aku bukan hanya meminta idiot itu mengembalikan mobil, tapi juga membayar ganti rugi.”
Tarno berkata dengan nada tajam, “Jangan khawatir, ini baru pembuka. Kalau kali
ini, aku nggak menghabisi idiot itu beserta keluarganya, aku akan mengikuti
marganya!”