Bab 248
Bab 248 Siapa yang Bisa Membuatku Berlutut
Ekspresi Rohan langsung berubah drastis
Dia menatap Ardika tanpa ekspresi dan tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Dalam sekejap, suhu di dalam ruangan itu seolah menurun drastis.
“Ardika, dasar lancang!”
Tarno langsung berjalan menghampiri Ardika, menunjuk pria itu dan berkata
dengan marah, “Tuan Rohan memintamu menjadi anak buahnya karena beliau
memandang tinggi dirimu. Jangan nggak tahu diri!”
Ardika melirik Tarno sejenak.
Tadi, saat di dalam toko Ferrari, dia sudah merasakan sikap pria itu padanya ada
yang aneh.
Benar saja, sebelumnya Tarno hanya berpura–pura bersikap hormat padanya. Còntens bel0ngs to Nô(v)elDr/a/ma.Org
“Tarno, sepertinya kamu sudah mulai lupa diri. Apa karena lukamu sudah sembuh,
kamu sudah lupa rasa sakitnya dihajar?”
Ekspresi Ardika langsung berubah menjadi muram. Dia berkata, “Semalam saat
kamu berlutut dan menampar wajahmu di hadapanku, aku nggak melihatmu begitu
pemberani!”
Ekspresi Tarno langsung berubah, dia teringat kejadian memalukan kemarin.
“Ardika, semalam aku tunduk padamu hanya karena aku nggak punya pilihan lain.
Apa kamu benar–benar berpikir aku takut padamu?!”
Tarno menatap lawan bicaranya dengan tatapan meremehkan dan berkata, “Kamu
hanyalah menantu benalu Keluarga Basagita yang dipandang rendah oleh semua
orang. Kamu hanya sedikit menguasai keterampilan seni bela diri. Kalau bukan
karena enam jenderal perang Romi, semalam kamu nggak akan bisa keluar dari
tempat perjudian hidup–hidup. Atas dasar apa aku harus terus tunduk padamu?”
Selesai berbicara, dia mencibir dan mengungkapkan kebenaran di balik sikap
hormatnya pada Ardika tadi.
“Apa kamu tahu kenapa saat di hadapan dua saudara Keluarga Basagita itu aku begitu menghormatimu, sampai–sampai menyerahkan mobil balap padamu dan menekan mereka untuk meminta maaf padamu?”
“Itu hanya karena instruksi dari Tuan Romi. Beliau ingin sedikit menyenangkan hatimu. Kalau nggak, kamu sama sekali bukan apa–apa. Kamu pasti sudah diusir
keluar!”
Biarpun kejadian di tempat perjudian semalam masih segar dalam ingatannya,
Ardika tetap bukan apa–apa di mata Tarno.
Baginya, semalam Ardika bisa keluar dari tempat perjudian hidup–hidup berkat Geri
dan yang lainnya.
Kalau bukan karena Rohan ingin menjadikan Ardika sebagai kambing hitam dan
memanfaatkan pria itu sebagai alat untuk membunuh Alden, dia dan Alvaro pasti
sudah menemui Billy dan meminta Billy untuk mengirim utusan ke Kediaman
Keluarga Basagita dan membunuh Ardika.
“Oh? Kalau begitu, aku harus berterima kasih pada Tuan Rohan?”
Seolah tersenyum, Ardika menatap Rohan yang tetap berlagak hebat tanpa
mengucapkan sepatah kata pun itu.
Saat ini, kesabarannya sudah hampir terkuras habis.
“Hanya berterima kasih saja?”
Namun, Tarno yang tidak menyadari hal itu tetap menatap Ardika dengan tatapan
arogan dan berkata, “Bukankah seharusnya kamu berlutut di hadapan Tuan Rohan dan berterima kasih padanya karena telah memberimu kesempatan emas ini?”
“Tuan Rohan adalah teman Tuan Billy. Hanya dengan satu kalimat dari beliau, kamu sudah bisa mengubah nasibmu. Berapa banyak orang yang ingin menjadi anak buah beliau? Tapi, beliau bahkan sama sekali nggak melirik mereka.”
“Beliau memilihmu adalah sesuatu hal yang bagus untukmu!”
Tarno sudah melontarkan kata–kata keterlaluan seperti itu, tetapi Rohan sama
sekali tidak menyangkalnya. Dia tetap menyesap tehnya dengan santai.
Dari ekspresi dan gerak–geriknya, sepertinya pria tua itu sudah sangat yakin hari ini
dia bisa menundukkan Ardika.
Kesabaran Ardika sudah terkuras habis.
Dia langsung bangkit dari sofa, melewati meja dan berdiri di hadapan Rohan.
“Ah, akhirnya kamu bersedia berlutut juga? Seharusnya dari awal kamu berlutut. Kalau dari awal kamu sudah berlutut, aku nggak perlu melontarkan kata–kata nggak
enak didengar seperti ini.”
Tarno mengira akhirnya Ardika sudah bersedia tunduk. Dia menyunggingkan
seulas senyum bangga.
Rohan juga meletakkan cangkir tehnya di atas meja, lalu duduk tenang di sana, menunggu Ardika berlutut padanya.
“Berlutut? Nggak ada seorang pun yang bisa membuatku berlutut.”
Tawa meremehkan Ardika terdengar di seluruh ruangan.
Selesai berbicara, tanpa tanda–tanda sama sekali, dia langsung melayangkan
tamparan ke wajah Rohan dengan keras.
1
Suara tamparan yang keras menggema di seluruh ruangan!
Rohan yang sedang duduk di sofa langsung terpental.
Entah trik macam apa yang Ardika gunakan, dia terjatuh dan mendarat di lantai
dalam posisi berlutut.
Wajah pria itu langsung memerah dan membengkak.
Rohan yang berlutut dengan menyedihkan itu menatap Ardika dengan tatapan kosong. Untuk sesaat, dia tidak bereaksi.
Setelah tamparan keras Ardika mendarat di wajahnya, dia benar–benar tercengang.
Ardika mengalihkan pandangannya ke arah Tarno yang juga sama tercengang.
“Lihat baik–baik! Ini adalah Tuan Rohan yang merupakan sosok hebat di matamu.
Hanya dengan satu tamparan dariku, dia berakhir sama saja denganmu semalam