Bab 689
Bab 689
“Jangan pergi!” teriak Rubah Hitam, tetapi remaja itu sama sekali tidak bisa mendengar suaranya.
Harvey tersenyum ringan, “Dia sangat polos dan ceria. Meskipun kedua orang tuanya sudah meninggal dan nggak tahu kakaknya masih hidup, dia selalu menjalani kehidupannya dengan begitu positif setiap hari. Tapi, anak seperti ini harus menghilang karena dirimu, sungguh membuat orang nggak sampai hati.
Kedua mata Rubah Hitam terlihat sangat merah, dia sudah tidak tenang seperti sebelumnya.
Dia berteriak pada Harvey, “Kamu hanya perlu menyerangku, aku slap menerima hukuman mati, tapi dia sama sekali nggak tahu apa–apa soal ini!”
Harvey menarik kerahnya, mendengkus dingin dan berkata, “Kalau begitu, kenapa kamu nggak menyerangku saja? Kenapa kamu malah menyerang seorang anak kecil? Apa anakku tahu semua ini? Sekarang kamu berada di posisiku sebelumnya dan baru tahu betapa menyakitkan hati? Kenapa kamu bisa menyerang anakku yang masih kecil? Bagaimana kalian memperlakukan Seli yang sedang hamil di tengah hujan deras pada saat itu? Sekarang kamu malah meminta belas kasihanku setelah melukai anggota keluargaku?”
Rubah Hitam hanya bisa mengatup–ngatupkan bibirnya..Dari awal memang mereka yang salah, jadi dia tidak punya alasan untuk membela diri.
“Aku mohon, lepaskan dia.”
“Aku bisa melakukan itu, tapi kamu harus menunjukkan kesungguhanmu untuk bertukar informasi. Beri
tahu aku kebenarannya dan aku akan melepaskan adikmu. Kalau nggak, dia nggak akan bisa melihat
matahari terbit lagi.”
“Kamu juga bisa memilih tetap diam, tapi sepandai–pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga.
Cepat lambat aku pasti akan menemukan orang itu, aku hanya butuh sedikit waktu lebih untuk
menemukannya. Sedangkan nasib akhirmu sudah pasti, tapi apa kamu ingin nyawa adikmu ikut terseret?
Rubah Hitam terdiam, dia mulai merasa ragu–ragu.
Saat ini, terdengar suara langkah yang tergesa–gesa dan dua orang yang sedang berbicara. Salah
satunya sedang memberi tahu informasi mengenai adik perempuannya.
Remaja itu terkejut dan berkata, “Ternyata dia satu sekolah denganku. Namanya siapa? Mungkin aku
mengenalnya.”
“Diva.”
“Dia….”
“Apakah kamu mengenal adik perempuanku?
“Dia….” Remaja itu terdiam sejenak, “Beberapa hari lalu dia menyatakan perasaannya padaku, tapi aku menolaknya.”
“Nggak heran aku melihat ada banyak fotomu di rumah. Kenapa? Apa adikku nggak baik? Kenapa kamu menolaknya?”
“Kak, kamu salah paham. Bukan karena dia nggak baik, tapi akulah yang nggak baik. Kedua orang tuaku sudah meninggal sejak aku masih kecil. Beberapa tahun lalu, kakakku tiba–tiba menghilang. Sekarang. aku nggak ada niat untuk berpacaran, aku hanya ingin fokus belajar. Aku ingin masuk ke Universitas Zeos. Ini adalah impian kakakku saat kecil. Aku ingin mencarinya di sana. Akan sangat nggak bertanggung jawab kalau aku menerima perasaan adikmu dengan kondisiku seperti ini.”
Suara remaja yang begitu lembut membuat Rubah Hitam menunjukkan sedikit kelembutan di matanya.
Efek obat membuat kepalanya semakin pusing. Segala kenangan di masa lalu muncul dengan cepat di benaknya dan dia mulai kehilangan kendali atas emosinya.
Dua orang di dalam video itu sudah tiba di puncak gedung. Suara langkah kaki semakin cepat dan remaja itu dengan polos berkata, “Aku pasti akan meyakinkannya dengan baik agar dia nggak
mengambil jalan yang salah ini.”
Selanjutnya, terdengar suara pintu menuju atap gedung terbuka.
Rubah Hitam merasa jantungnya seperti akan meledak. Dia berusaha keras untuk mengendalikan
emosinya, tetapi dia malah mendapati bahwa seperti ada sebuah tangan yang terus–menerus menarik
kesadarannya ke luar.
“Sial! Apa benar–benar ada obat seperti itu di dunia ini?” pikirnya. NôvelDrama.Org exclusive content.
Akhirnya dia tahu mengapa Harvey tidak menyiksa fisiknya. Karena rasa sakit emosional jauh lebih
besar daripada fisik.
Terdengar suara deru angin dan remaja itu, “Kak, apa kamu nggak salah? Nggak ada orang di sini.”
“Dia mungkin di ujung sana. Coba kamu ke sana melihatnya, gadis itu selalu keras kepala.”
Suara pria itu terdengar seperti rayuan iblis yang licik.
Melihat ini, Rubah Hitam sangat tegang, tetapi kepalanya mulai terasa pusing dan pandangannya mulai
kabur.
“Jangan! Jangan ke sana!” Tubuhnya sudah tidak bisa menopangnya dan dia perlahan berlutut.
Harvey dengan angkuh menatapnya dari atas dan berkata, “Kamu punya 10 detik untuk memutuskan kamu ingin adikmu hidup atau mati!”
“Sepuluh ….”