Bab 688
Bab 688 This text is © NôvelDrama/.Org.
Bagi orang–orang yang berprofesi sepertinya, tidak takut mati maupun sakit. Mereka hanya takut
kehilangan kesadaran. Di bawah lampu besar di atas kepala, terlihat dahi Rubah Hitam penuh dengan
keringat.
Ketika jarum dingin menusuk ke kulitnya, dia hanya merasa seperti digigit semut, tetapi urat nadi di punggung tangannya terlihat jelas karena dia mengepal erat tangannya, berusaha untuk meronta.
Harvey menatapnya dengan dingin, “Kamu bicara sekarang atau menunggu sampai nggak ada kesadaran diri? Selama ini kamu bekerja untuk siapa? Siapa yang memerintahkanmu untuk menyerang putraku dan Seli? Melihat kita seprofesi, aku bisa membiarkanmu mati dengan terhormat.”
Rubah Hitam menghardiknya, “Jangan mimpi! Aku nggak akan mengatakannya bahkan harus mati. Selain itu, aku nggak akan tertipu dengan trik murahan ini.”
Kewaspadaannya sangat tinggi dan mentalnya juga jauh lebih kuat daripada orang biasa.
“Baiklah. Aku punya banyak waktu untuk menunggu efek obat itu bekerja.”
Harvey kembali duduk di kursinya dengan acuh tak acuh. Dia melanjutkan melihat dokumen informasi mengenai Rubah Hitam. “Warga negara Arama. Kedua orang tua meninggal ketika masih kecil dan hanya punya seorang adik,” ujar Harvey dengan santai.
Saat itu juga, pupil Rubah Hitam membesar. Dia telah menyembunyikan identitasnya selama bertahun- tahun dan tidak menyangka ada yang berhasil menyelidikinya.
“Dia sama sekali nggak tahu apa–apa. Jangan serang dia,” ujar Rubah Hitam yang ekspresinya mulai menunjukkan perubahan.
Harvey dengan tenang membalikkan dokumen itu sambil berkata, “Oh ya? Nggak bersalah, ya? Apa anakku yang belum genap dua tahun itu bersalah? Saat kamu mendorongnya jatuh, apa kamu nggak memikirkan bahwa dia masih bayi yang nggak tahu apa–apa?”
Pada saat ini, Chandra masuk. Dia mengatakan sesuatu dengan berbisik di telinga Harvey samb
menyerahkan sebuah ponsel.
“Kebetulan sekali, ponselmu sudah berhasil dibobol.”
Di ponsel Rubah Hitam tidak ada yang nomor kontak mencurigakan, bahkan sama sekali tidak ada foto adiknya. Yang ada hanya sebuah pesan yang memintanya untuk segera membayar iuran keamanan di sebuah aplikasi pengirim pesan.
Rubah Hitam tidak bersosialisasi dengan orang–orang, jadi tidak memiliki teman.
“Kamu seharusnya tahu bahwa pesan yang dihapus dapat dipulihkan.”
Rubah Hitam tersenyum dingin dan berkata, “Ada kemungkinan aku nggak memiliki histori mengirim pesan, ‘kan? Kalian bisa menangkapku, tapi kalian pikir aku nggak memikirkan kemungkinan seperti ini?
Jangan buang–buang tenaga kalian. Sudah kubilang aku nggak akan mengatakan apa pun.”
“Oh, kamu yang memintanya.”
Harvey menjentikkan jari dan Chandra langsung memutar sebuah video. Di bawah cahaya lampu yang
redup, seorang pemuda berdiri di belakang gerobak sate dan sibuk membalik–balikkan daging yang dia
bakar. Karena berada di dekat arang api, ada butiran air yang terus mengalir dari pipinya.
Menyaksikan video itu, Rubah Hitam langsung mengenali pemuda di video tersebut adalah adiknya.
“Adikmu sungguh anak yang baik dan berprestasi. Dia juga kerja samping di tiga tempat selama liburan
untuk mengumpulkan uang untuk pergi keluar negeri. Sungguh anak yang baik, sayang sekali….”
Harvey menghela napas dan lanjut berkata, “Aku selalu menghargai orang yang berbakat, tetapi setiap orang harus membayar kesalahannya. Jadi biarkan dia yang membayar apa yang kamu lakukan
padaku. Bagaimana menurutmu dengan Gedung Nightstar?”
“Apa yang ingin kamu lakukan?”
“Bukan apa–apa, aku hanya melakukan apa yang kamu lakukan pada putraku. Chandra, seingatku Gedung Nightstar itu ada 32 lantai, “kan?”
Chandra mengoreksinya, “Anda salah ingat. Yang benar ada 52 lantai. Bulan lalu ada orang yang bunuh diri di sana. Kepalanya hancur dan isinya keluar, bahkan seluruh tulangnya patah.”
Rubah Hitam tahu ini adalah cara mengancam yang paling umum, tetapi karena masalah ini menyangkut dirinya sendiri, dia sama sekali tidak bisa tetap tenang.
Sepertinya efek obat juga mulai bekerja. Tetesan keringat besar–besar bergulir turun dari hidung.
Setelah Chandra membuka pengeras suara di ponsel itu, terdengar suara seseorang berbicara, “Mas, adik perempuanku ingin bunuh diri. Kamu sangat mirip dengan mantannya, apa bisa tolong bantu aku untuk menenangkannya? Aku hanya punya adik perempuanku, aku nggak bisa kehilangannya.”
“Tentu saja, bagaimana aku harus membantumu?”
“Dia meninggalkan surat bunuh diri ini, sekarang dia seharusnya sudah naik ke atap gedung ini. Kamu
ikutlah aku naik ke atas.”
“Oke. Jangan panik. Aku akan menemanimu ke sana,” ujar pemuda itu dengan sedikit cemas.