Bab 267
Bab 267 Sikap Berubah Drastis
Alvaro berjalan menghampiri Ganang dan berkata, “Ayo kita pergi.”
Ganang bertanya dengan bingung, “Bos Alvaro mengajakku ke mana?”
Alvaro mendengus dan berkata, “Tentu saja ke tempatku untuk membicarakan
tentang utangmu.”
Seolah–olah tidak mendengar apa–apa, Mulyadi langsung berbalik dan pergi.
Saat ini, Ganang benar–benar merasa putus asa.
Dia baru saja dikeluarkan oleh Mulyadi, sekarang dia akan dibawa pergi oleh Alvaro.
Setelah melihat seulas senyum ganas di wajah Alvaro, dia sudah memahami satu hal. Kali ini dia ikut pergi dengan Alvaro, walaupun dia tidak mati, dia pasti akan berakhir dengan mengenaskan! This material belongs to NôvelDrama.Org.
Semua hal buruk ini menimpanya karena dia sudah menyinggung Ardika.
Dia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, tadi Ardika menarik Alvaro ke samping dan membisikkan beberapa patah kata padanya. Karena beberapa patah kata dari Ardika itulah, Alvaro baru memperlakukannya seperti ini.
Dia mengalihkan pandangannya ke arah Ardika, lalu berlutut dan berkata, “Tuan Ardika, aku mohon maafkan aku. Aku memang buta, memandang rendah kamu. Aku nggak akan berani menyinggungmu lagi!”
Ardika hanya berdiri tanpa ekspresi di sana, dia tidak mengucapkan sepatah katal
pun.
Tak lama kemudian, Viktor dan Ganang sudah dibawa pergi oleh Alvaro.
Suasana di dalam bangsal hening kembali.
Orang–orang yang berkerumun di koridor membubarkan diri dalam diam. Sebelum pergi, mereka menatap Ardika dengan sungguh–sungguh, seolah–olah sedang
merekam wajah pria itu dalam benak mereka.
Lain kali, kalau bertemu dengan pria itu lagi, mereka tidak akan memprovokasinya
lagi!
Begitu melihat Ardika memasuki bangsal, Desi yang sedang menggenggam
ponselnya bergegas bertanya, “Ardika, apa kamu sudah selesai membicarakannya dengan Bos Alvaro? Apa dia setuju untuk melepaskan Viktor?”
Tadi dia sedang menelepon Luna. Sebenarnya, kejadian di koridor itu berlangsung
tidak lama.
Ardika menggelengkan kepalanya dan berkata, “Nggak berhasil. Viktor sudah
dibawa pergi.”
“Huh, aku sudah tahu kamu memang nggak berguna!”
Setelah memelototi Ardika, Desi melanjutkan pembicaraan di ponselnya. “Luna,
Viktor sudah dibawa pergi oleh Alvaro. Cepat pikirkan cara untuk
menyelamatkannya.”
“Ibu, sudah kubilang aku sedang sibuk bekerja. Ibu nggak mungkin
mengharapkanku siap dua puluh empat jam untuk membantu Keluarga Lasman menyelesaikan masalah mereka, ‘kan?” sela Luna di ujung telepon dengan agak
kesal.
Desi berkata dengan cemas, “Tapi, bagaimana kalau orang tua Viktor datang dan
membuat keributan lagi….”
“Biarkan saja mereka! Lagi pula, bukankah Alvaro sudah bilang hanya membawa Viktor ke tempatnya untuk dijadikan sebagai pelayan? Viktor nggak akan mati! Kebetulan, dengan cara seperti ini bisa membantunya berhenti berjudi!”
Selesai berbicara, Luna langsung memutuskan sambungan telepon.
“Dasar anak ini! Dia malah memutuskan sambungan teleponku!”
Desi meletakkan ponselnya dengan kesal.
Ardika berkata, “Ibu, Luna benar. Kebetulan dengan cara ditangkap untuk dijadikan pelayan oleh Alvaro inį, bisa membantu Viktor berhenti berjudi. Ayo kita pulang
sekarang.”
Desi tertegun sejenak. Namun, begitu melihat tempat tidur yang sudah kosong, dia
baru teringat Viktor sudah dibawa pergi oleh Alvaro. Mereka tidak perlu tetap
berada di rumah sakit lagi.
Ardika berjalan mengikuti ibu mertuanya keluar dari bangsal.
Saat mereka sampai di loket suster, kepala suster secara pribadi datang menghampiri mereka dengan membawakan beberapa dokumen, lalu menyerahkannya kepada Desi dan berkata dengan sopan, “Bu Desi, ini adalah dokumen prosedur kepulangan Viktor dari rumah sakit. Tolong kalian pergi ke
lantai bawa untuk urus prosedurnya, lalu mengambil uang kalian.”
Desi menerima dokumen itu dengan ragu.
Kepala suster ini sudah staf medis lama di rumah sakit ini. Desi sudah mengenalnya
Sebelumnya, kepala suster ini memperlakukannya dengan dingin karena dia sudah
mencoreng nama baik rumah sakit.
Namun, sekarang lawan bicaranya itu malah sangat sopan padanya.
“Bu Desi, Tuan Ardika, sampai jumpa lagi.”
Kepala suster itu tersenyum canggung pada Desi, lalu kembali ke loket suster. Para
suster lainnya menatap mereka dengan tatapan aneh.
Dengan benak yang dipenuhi tanda tanya, Desi turun ke lantai bawah, mengurus
prosedur kepulangan Viktor dari rumah sakit dan mengambil kembali uang 40 juta
mereka.
Saat ini, suasana hati Desi sudah jauh lebih baik. Dia langsung berjalan ke pintu
gerbang rumah sakit dan bersiap untuk memanggil taksi untuk pulang.
Sambil menunjuk ke arah tempat parkir, Ardika berkata, “Ibu, bukan arah sana, ke
arah tempat parkir. Aku mengendarai mobil ke sini.”
“Bukankah mobil kita sudah rusak? Kamu mengendarai mobil dari mana?!”
Dengan kebingungan, Desi mengikuti menantunya ke tempat parkir. Saat itu pula,
dia melihat Novi sekeluarga yang masih menunggu di sana. Tanpa memedulikan
citranya lagi, Yunita sudah berjongkok di sana.
Begitu melihat Desi dan Ardika, Novi yang tadinya sudah tidak bersemangat
langsung bersemangat kembali.
“Desi, kamu dan menantumu sudah diusir, ya?”
“Haha, aku yang memberi tahu Pak Ganang kalian datang ke rumah sakit, kalian
baru diusir ….”
Novi berdiri dengan tegak dan memperkeras volume suaranya, seolah–olah ingin
semua orang di rumah sakit ini mengetahui hal itu.
“Jangan pergi ke sana lagi, aku malas menghadapi sindiran mereka!”
Desi berbalik dan hendak pergi.
Ardika tersenyum dan berkata, “Jangan khawatir, Bu. Kali ini mereka nggak akan
berani lagi.”
Saat berbicara, dia mengeluarkan kunci mobilnya dan menekannya.
“Bip… bip….”
Terdengar bunyi nyaring dari Maserati.