Bab 262
Bab 262 Siapa yang Berani Mengusir Kak Ardika
Ganang menatap Ardíka dengan tatapan meremehkan.
‘Bukankah menantu Desi ini ingin menghasilkan uang dengan menjadi perawat di sini? Aku nggak akan membiarkannya menghasilkan sepeser pun dari sini.‘ pikir Ganang.
Dengan sorot mata dingin, Ardika berkata dengan suara dalam, “Aku punya kaki. Kalau aku mau pergi, aku bisa pergi sendiri. Kamu pikir kamu siapa? Beraninya kamu mengusirku!”
Kalau bukan karena sebelumnya Viktor bersikeras ingin dilayaninya, dia juga tidak ingin berlama–lama di rumah sakit ini.
Namun sekarang begitu Ganang mengusirnya dengan kasar seperti itu, dia malah mengurungkan niatnya untuk pergi.
“Huh, aku adalah wakil direktur rumah sakit ini!”
Ganang berkata dengan ekspresi arogan, “Aku yang mengelola keamanan rumah sakit ini. Seseorang dengan gangguan mental sepertimu berada di sini untuk menghasilkan uang, bagaimana kalau sampai penyakitmu kumat, lalu melukai pasien dan keluarga pasien?!”
“Apa? Dia pengidap gangguan mental?”
Begitu mendengar ucapan Ganang, orang–orang yang berada di dalam maupun luar bangsal segera melangkah mundur. Mereka berusaha menjauhi Ardika, khawatir
penyakit Ardika kumat dan melukai mereka.
Ganang menganggukkan kepalanya dan berkata, “Ya, mungkin kalian belum tahu identitasnya. Aku beri tahu kalian, pria yang berdiri di hadapan kalian ini adalah menantu idiot Keluarga Basagita itu!”
“Gila, gila, gila. Ternyata dia adalah menantu idiot Keluarga Basagita. Akhirnya, hari ini aku melihatnya secara langsung!”
“Aku dengar di hari pernikahan mereka, penyakitnya kumat. Dia memukul tamu
undangan yang menghadiri acara pernikahan.”
“Dua hari yang lalu, dia juga memukul Pak Kresna, Kepala Bank Banyuli, hampir saja
membuat Grup Agung Makmur bangkrut….”
Di Kota Banyuli, Ardika benar–benar sangat terkenal.
Walaupun orang–orang itu belum pernah bertemu dengannya, tetapi begitu Ganang
menyebut dia adalah menantu idiot Keluarga Basagita, mereka semua langsung tahu.
Satu per satu dari mereka melemparkan sorot mata aneh ke arah Ardika.
Sementara itu, keluarga dua pasien di dalam bangsal menatap Desi dengan tatapan
marah.
“Desi, karena menantumu ini mengidap gangguan mental, kenapa kamu nggak memasukkannya ke rumah sakit jiwa untuk menjalani perawatan, malah
membiarkannya merawat pasien di sini? Bagaimana kalau penyakitnya kambuh dan
memukul kami?!”
“Dasar wanita keji! Karena menjalani kehidupan kurang menyenangkan, kamu malah ingin mencelakai orang lain! Apa kami pernah menyinggungmu?!”
Desi menatap orang–orang itu dengan ekspresi pucat. Dia tidak tahu harus berkata
apa.
Walaupun Desi tahu Ardika hanya mengurung dirinya di rumah sakit jiwa untuk
meninggalkan keluarganya dan bukan benar–benar mengidap gangguan jiwa, tetapi orang lain tidak mengetahui hal ini.
Menghadapi tuduhan orang–orang itu, dia benar–benar tidak bisa mengucapkan
sepatah kata pun.
Saat ini, mentalnya benar–benar tersiksa. Text © owned by NôvelDrama.Org.
Beberapa orang keluarga pasien itu mengalihkan pandangan mereka ke arah Ganang dan berkata, “Pak Ganang, Bapak selalu menjunjung tinggi etika medis yang terkenal dengan reputasi baik di rumah sakit ini. Bapak harus menegakkan keadilan untuk kami. Usir idiot itu dari sini! Jangan membiarkannya berada di sini!”
Mendengar kata–kata sanjungan itu, Ganang merasa sangat senang.
Dia membenarkan posisi kacamatanya dan menatap Ardika dengan tatapan arogan Apa lagi yang kamu lakukan di sana? Cepat pergi dari sini sekarang juga!”
Ardika tetap tidak bergerak, dia mengeluarkan ponselnya tanpa ekspresi
“Apa kamu sudah menghubungi direktur rumah sakit? Suruh dia temui aku da departemen rawat inap lantai enam!”
“Baik, Pak Ardika.”
Suara Jesika terdengar dari ujung telepon.
Ganang tertegun sejenak, lalu berkata dengan nada meremehkan, “Berani–beraninya
kamu menyuruh Pak Mulyadi menemuimu! Kamu pikir kamu siapa?!”
Orang–orang lainnya juga tertawa terbahak–bahak.
“Di saat seperti ini, masih berlagak hebat. Ardika, cepat pergi dari sini
“Pergi! Cepat pergi dari sini!”
Baik orang–orang yang berada di dalam maupun di luar bangsal melambaikan tangan mereka untuk mengusir Ardika, seperti sedang mengusir seekor lalat
“Siapa yang berani mengusir Kak Ardika?”
Tepat pada saat ini, tiba–tiba terdengar suara yang sangat dingin dan tajam dari luar bangsal.
Alvaro bergegas berjalan melewati koridor bersama dua orang anak buahnya
Begitu mendengar ada orang yang berani mengusir Ardika, dia menyadari kesempatannya untuk membangun relasi dengan Ardika sudah datang.