Bab 252
Bab 252
Selena mendongak dan melihat seseorang bertubuh tegap berdiri di depannya, Harvey mencengkeram pergelangan tangan Malsha.
Jika dulu Harvey masih menjaga sikapnya karena menganggap Malsha sebagai orang tua yang harus dihormati, tetapi saat Ini Harvey menatap wanita itu dengan sorot mata dingin dan berkata, “Bibi Maisha, kayaknya Bibi keterlaluan, deh?”Content from NôvelDr(a)ma.Org.
Maisha mengerutkan kening dan menggoyang-goyangkan tangannya berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Harvey. “Harvey, Bibl ‘kan sedang membantumu, kenapa sikapmu malah begini?”
“Membantuku?” Harvey tertawa dingin dan tidak melepaskan cengkeraman tangannya. Sebaliknya, dia malah mencengkeram tangan Malsha dengan lebih kuat.
“Aku nggak suka orang lain Ikut campur urusanku, mengerti?”
Maisha yang tangannya dicengkeram mulal menangis sambil mengangguk—anggukkan kepalanya. “lya, iya, aku paham, lepaskan dulu cengkeramanmu.”
“Tante Maisha, lihat yang benar, dialah anakmu yang sebenarnya!” kata Harvey sambil melepaskan tangan Maisha. Harvey menjepit wajah Maisha yang menangis.
Ekspresi wajah Maisha jadi lebih ganas saat melihat ke arah Selena. Apa lagi saat ditambah dengan rasa sakit yang dia rasakan akibat perbuatan Harvey ini.
“Lihat! Ini semua adalah ulahmu! Aku pasti akan lebih tenang kalau kamu nggak merepotkan kayak
Agatha!”
Selena memegangi perutnya. Emosinya membuat darahnya bergolak..
“Ibu pergi selama belasan tahun, aku ingin tanya pada Ibu, mananya yang Ibu bilang kalau Ibu mengkhawatirkan aku?”
Maisha bukannya merasa bersalah, tetapi malah semakin marah. “Kamu tetaplah anakku yang selalu aku rindukan siang dan malam. Bisa—bisanya kamu bisa mengucapkan kata-kata yang kejam dan nggak berperasaan kayak gitu? Aku benar—benar nggak tahu bagaimana Arya mendidikmu hingga jadi kayak gini...”
Kali ini, sebelum Maisha sempat menyelesaikan kata—katanya, Selena langsung mengambil secangkir teh yang baru saja diseduh di atas meja. Dia bisa merasakan kalau cangkirnya terasa hangat.
Selena sudah tidak peduli dan ingin segera membantingnya. Namun, dia jadi merasa ragu saat melihat wajah Maisha. “Kuingatkan Ibu, jangan pernah menyebut-nyebut ayahku, Ibu nggak pantas menyebutnya!”
Maisha juga terkejut dengan tindakan Selena yang tiba—tiba hingga tidak bisa mengucapkan sepatah
kata pun.
“Kamu ... kamu ingin memukulku, “kan?”
“Kalau Ibu menyebut nama ayahku sekali lagi, gelas ini akan kulempar ke kepala Ibu! Aku serius!”
Maisha memegangi dadanya, wajahnya pucat dan menunjuk—nunjuk Selena. “Durhaka... kamu memang anak durhakal”
Harvey tahu kalau Maisha memiliki penyakit jantung. Begitu melihat suasana sedang tidak baik—baik saja, dia langsung menarik Selena Bennett ke kursi yang ada di dekatnya.
“Bibi Maisha, minum teh ini supaya merasa baikan. Aku akan membereskan masalah ini untukmu.”
Selena yang melihat bibir Maisha berubah warna jadi menahan diri dan tidak berbicara lagi.
Dia sendiri penasaran, seperti apa cara Harvey menyelesaikan masalah ini dengannya.
Maisha meneguk teh dan menenangkan dirinya sejenak. “Harvey, bukannya Ibu ini adalah orang tua yang suka ikut campur. Tapi laki-laki itu harus setia. Sekarang kamu sudah memilih Agatha, jadi jangan ragu—ragu lagi, kamu akan menyakiti kedua wanita
itu.
Maisha berhenti sejenak dan melanjutkan, “Bibi tahu kamu adalah pria yang baik dan setia. Mungkin kamu masih nggak bisa melupakan Selena dan merasa berutang
Udi padanya. Kamu bisa menebusnya dengan cara lain, tetapi kamu nggak boleh melukai Agatha. Kamu harus mengerti, Selena adalah masa lalu dan cuma Agatha yang akan menjadi wanita yang akan menemanimu menghabiskan sisa hidupmu.”
Harvey menahan rasa kesal di dalam hatinya. Dia menghela napas berat dan memotong ucapan Maisha yang tidak ingin dia dengar.
“Bibi Maisha, aku paham. Kalau Bibi merasa keberadaan Selena membuat orang nggak nyaman, mulai besok Selena nggak perlu kerja di sini lagi.”
Selena memalingkan kepala dan melihat Harvey. “Kamu bilang apa barusan?”
Harvey berkata dengan tegas, “Kamu dipecat.”